Cerita Perjalanan Saya Bersama Travel Umroh Lombok

Saya masih ingat pagi itu. Di beranda rumah, sambil menyeruput kopi, saya terpaku memandangi kalender. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—rindu yang tidak bisa dijelaskan. Tapi saya tahu persis ke mana arah rasa itu. Ke Tanah Suci. Ke Baitullah.

Sudah lama saya menyimpan niat untuk berangkat umroh. Tapi niat saja ternyata tidak cukup. Yang lebih sulit adalah memilih teman perjalanan yang tepat. Saya tidak ingin sekadar berangkat. Saya ingin benar-benar beribadah, dipandu oleh orang-orang yang tahu cara memperlakukan ibadah ini dengan hati.

Di situlah saya menemukan Fitour International—sebuah nama yang sudah lama saya dengar, tapi baru kali ini saya benar-benar mendalaminya. Dari sekian banyak pilihan travel umroh di Lombok, hati saya condong ke satu nama ini.

Bukan Sekadar Travel, Tapi Sahabat Perjalanan

Saya mulai menghubungi tim mereka. Tidak ada promosi berlebihan. Tidak ada janji manis yang dibungkus dengan brosur tebal. Yang saya dapat justru sebaliknya: sapaan hangat, penjelasan tenang, dan kesediaan mendengarkan semua pertanyaan saya—bahkan yang paling sepele sekalipun.

“Saya belum pernah ke luar negeri, bagaimana kalau panik di bandara?”
“Kalau saya belum bisa doa-doa tertentu, apakah saya akan dibantu?”
“Saya ingin berangkat bareng orang tua, bisa dibantu dari rumah?”

Dan mereka menjawab semuanya dengan tenang. Penuh empati.

Saya merasa seperti sedang bicara dengan keluarga sendiri, bukan sekadar petugas customer service. Itu yang membuat saya mantap.

Persiapan yang Bikin Tenang

Sejak awal manasik, saya tahu saya berada di tangan yang tepat. Sesi bimbingannya tidak terburu-buru. Jamaah diajak memahami, bukan hanya menghafal. Bahkan ada sesi khusus untuk jamaah lansia, yang disampaikan dengan bahasa yang sangat membumi dan mudah dicerna.

Saya sempat bertemu dengan peserta lain yang berasal dari luar Mataram—ada yang dari Praya, Selong, bahkan Sumbawa. Ternyata Fitour International ini memang sudah jadi rekomendasi utama bagi banyak masyarakat NTB. Mereka dikenal bukan cuma sebagai penyelenggara resmi, tapi sebagai travel umroh Lombok yang bisa diandalkan dan dipercaya.

Dan memang benar. Selama masa persiapan, semua detail diuruskan: paspor, vaksin, koper, perlengkapan, hingga pengingat-pengingat kecil seperti “jangan lupa fotokopi KK ya Bu, dua lembar.” Semua dibantu.

Saat Tiba Hari Keberangkatan

Kami berkumpul di Bandara Internasional ZAM (Zainuddin Abdul Madjid). Saya melihat wajah-wajah para jamaah lain—ada yang cerah penuh semangat, ada pula yang diam, menyimpan haru. Tapi ada satu kesamaan: semua siap melangkah dalam perjalanan yang bukan sembarangan.

Tim Fitour hadir sejak subuh. Bantu cek dokumen. Antar jamaah sampai boarding. Pegang tangan lansia saat berjalan menuju gate. Saya melihat langsung bagaimana mereka bekerja bukan dengan aturan semata, tapi dengan hati.

Dan begitu pesawat lepas landas, saya merasa… tenang. Bukan karena semua berjalan lancar, tapi karena saya tahu: saya tidak sendirian.

Menyentuh Tanah Suci, Menyentuh Hati

Makkah dan Madinah bukan tempat biasa. Semua yang pernah ke sana pasti setuju. Tapi saya percaya, pengalaman tiap orang bisa sangat berbeda tergantung dengan siapa mereka berangkat.

Bersama Fitour, saya merasa dimuliakan. Selalu ada pembimbing yang menemani kami ke Masjidil Haram. Selalu ada yang membantu mencari tempat thawaf yang tidak terlalu padat. Selalu ada pengingat pelan, lembut, agar niat tetap lurus.

Travel umroh Lombok seperti ini bukan cuma soal penginapan dekat atau menu makanan Indonesia (yang memang ada dan enak). Tapi soal atmosfer yang mereka ciptakan: hangat, sederhana, dan penuh doa.

Saya bahkan sempat mengalami momen sangat emosional saat di Raudhah. Ketika tiba giliran saya masuk, saya merasa takut: takut salah baca doa, takut salah gerak. Tapi pembimbing Fitour mendekat dan dengan suara pelan berkata, “Tenang Bu. Luruskan niat. Allah lebih tahu isi hati Ibu daripada apa yang Ibu ucapkan.”

Air mata saya tumpah seketika.

Pulang dengan Rasa Syukur yang Dalam

Perjalanan ini bukan hanya menambah stempel di paspor saya. Tapi juga meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang di hati saya.
Saya pulang sebagai orang yang lebih tenang. Lebih penuh makna. Dan saya tahu, sebagian besar rasa itu muncul karena saya memilih perjalanan yang tepat, bersama orang-orang yang peduli.